Jumat, 29 Juli 2011

HARUS ADA MORATORIUM IUP DI MALUKU UTARA

 
Pemerintah Daerah harus melakukan Moratorium penerbitan Izin Usaha Pertambangan di Maluku Utara saat ini, Sedangkan yang sudah berizin perlu dikaji kembali," pentingnya moratorium karena  beberapa kepala daerah dalam menerbitkan IUP sudah tidak mempertimbangkan kondisi ekologis  struktur dan pola ruang daerahnya sehingga terkesan penerbitan IUP ini bagaikan penggadaian daerah/pulau bagi pemilik modal demi kepentingan ekonomi dan politik penguasa di daerah. 

Saat ini terdapat 160 Izin Usaha Pertambangan di Provinsi Maluku Utara sesuai daftar IUP hasil rekonsiliasi Direktotarat Jendral Mineral Dan Batu Bara yang diumumkan pada tanggal 30 juni 2011, dapat kami rincikan sebagai berikut;  1). Kabupaten Halmahera Utara Memiliki 8 IUP dengan Lahan Terpakai 48.183,43 Ha, 2). Kabupaten Halmahera Selatan Memiliki 28 IUP dengan Lahan Terpakai 149.171,91Ha, 3). Kabupaten Halmahera Timur  Memiliki 15 IUP dengan Lahan Terpakai 54.328,1 Ha, 4). Kabupaten Kepulauan Sula Memiliki 97 IUP dengan Lahan Terpakai 332.196,6 Ha.

Dari luasan wilayah yang ditetapkan sebagai Wilayah Pertambangan sebagaimana yang termuat pada IUP masing-masing daerah, tentu saja akan mengancam kondisi ekologis daerah setempat serta pemanfaatan ruang. Dari 4 kabupaten yang menerbitkan IUP tersebut yang perlu mendapat kajian kembali adalah IUP yang berada di Kabupaten Halmahera Selatan dan Kabupaten Kepulauan Sula.

Sepengetahuan kami, untuk kabupaten halmahera selatan untuk wilayah pertambangan sebagian besar berada di pulau Obi, berdasarkan data yang kami ketahui bahwa Kabupaten Halmahera Selatan khususnya Pulau Obi dengan diterbitkanya 28 IUP untuk lahan terpakai sebesar 149.171,91Ha sangat tidak layak dan bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan dibidang Kehutanan, Pertanian, Hoertikultura, Tata Ruang dan UU lainya, mengingat Luas Daratan Pulau Obi adalah  2.542 KM2 atau setara dengan 254.200 Ha. Artinya hampir 60% Pulau Obi adalah Wilayah Pertambangan, sementara Perkebunan dan Pertanian adalah mata pencarian pokok masyarakat disana.
Lebih parah lagi Kabupaten Kepulauan Sula, Kabupaten Kepulauan Sula sesuai hasil rekonsiliasi Dirjen Minerba memiliki 97 Izin Usaha Pertambangan dengan lahan terpakai 332.196,6 Ha. Sementara luas daratan Kabupaten Kepulauan Sula (Sulabesi = 527,8 Km2, Mangoli=1.223 Km2, Taliabu=2.923 Km2) sehingga total luas daratan kabupaten kepulauan sula = 4.796 Km2 atau setara dengan 479.600 Ha. Artinya wilayah pertambangan kabupaten kepulauan sula itu 70% dari total wilayah darat kabupaten kepulauan sula. Kondisi ini tentunya sangat bertentangan dengan kondisi yang ada di daerah, bahwa masyarakat sula hampir sebagain besar mata pencariannya adalah petani dan nelayan. Dari data statistik Kabupaten Kepulauan Sula luas Kawasan Hutan = 268.486 Ha atau sama dengan 55.9% Luas Daratan Kepsul, Luas Lahan Pertanian Rakyat 24.743,56 Ha atau sama dengan 5,1% Luas Daratan Kepsul dan Luas Perkebunan Rakyat 19.110,9 Ha atau sama dengan 4% Luas Daratan Kepsul. Kalau Wilayah Pertambangan di Kabupaten Kepulauan Sula di biarkan 70% dari total luas daratan, lalu bagaimana dengan Kawasan Pedesaan, Kawasan Perkotaan, dan Kawasan Strategis lainnya? Ini jelas-jelas sudah tidak sesuai dengan pemanfaatan ruang dalam suatu daerah.
Olehnya itu, perlu Dinas Teknis dalam hal ini Dinas Pertambangan untuk mengkaji ulang IUP yang ada dan kalau benar-benar bertentantangan dengan peraturan yang lebih tinggi maka IUP yang ada perlu ditinjau kembali sesuai ketentuan yang berlaku, bila perlu masyarakat atau LSM melakukan somasi atas penerbitan izin seperti ini. Dilain itu juga agar Dinas Pertambangan harus lebih serius dan teliti dalam memberikan pertimbangan teknis kepada gubernur sebelum Rekomendasi Perizinan IUP itu ditandatangani oleh Gubernur.
Lewat kesempatan ini juga kami mengaharapkan, agar dinas Kehutanan Provinsi agar lebih berhati-hati dalam memberikan rekomendasi Ijin Pemakaian Kawasan Hutan bagi kegiatan Pertambangan. Dalam waktu dekat Komisi III akan memanggil Dinas Pertambangan untuk merevisi Perda Minerba yang telah ada karena tidak sesuai lagi dengan semangat perundang-undangan minerba saat ini. Paling tidak juga dalam revisi nanti  harus juga diatur mengenai batas luasan IUP yang diterbitkan per waktu, sehingga jangan sampai IUP ini dijadikan bisnis bagi kepala daerah saat berkuasa.
Mudah-mudahan lewat pembobotan materi Ranperda RTRW Provinsi nanti,  juga harus  memperhatikan mengenai Wilayah Pertambangan sehingga dapat diboboti dengan baik agar kedepan ini menjadi acuan pemerintah kabupaten/kota dalam mengatur/menentukan/penerbitan IUP di daerahnya. Mengingat Penerbitan IUP harus sesuai dengan RTRW sebagaimana ketentuan perundang-undangan dibidang minerba.

AIKOM TIDAK SALAH DALAM PROSES GANTI RUGI Ex Kantor P & K Kab. Maluku Utara

Oleh : Ir. Ikram Haris
Ketua Fraksi PDIP DPRD Provinsi Maluku Utara

Mengamati polemik ganti rugi gedung ex P & K yang terletak di dufa-dufa beberapa hari ini di media antara Pemkot, Pemkab Halbar dan AIKOM Ternate benar-benar sangat memprihatinkan. Sebenarnya dalam konteks ini, Pembeli (AIKOM) tidak boleh dirugikan. Terlebih lagi ini untuk kepentingan Pendidikan. Dalam UU Sisdiknas maupun PP tentang Pendanaan Pendidikan, Dikatakan bahwa Biaya Investasi, Operasional dan Pengembangan SDM suatu Satuan Pendidikan juga menempatkan Peran Pemrintah ke arah itu. Dengan penegasan diatas Pemerintah Daerah harus memberikan apresiasi positif bagi Satuan Pendidikan yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan Penyelenggaraan Pendidikan secara Mandiri, bahkan bila perlu mendorong kearah peningkatan kualitas seperti peningkatan mutu pengajar, penyempurnaan fasilitas penunjang dan mendorong percepatan peningkatan status perguruan tinggi (Akreditasi, dan lain-lain).

Upaya pendudukan paksa yang dilakukan Pemkot beberapa hari ini di gedung ex P & K yang terletak di dufa-dufa sebaiknya di urungkan sementara sambil menunggu koordinasi antara Pemkot dan Pemkab tanpa harus mengorbankan Proses belajar mengajar yang di lakukan AIKOM saat ini, terlebih lagi dengan mengamati Pengakuan Plt Direktur AIKOM bahwa saat ini mereka diperhadapkan dengan Ujian Mahasiswa dan Proses Akreditasi sehingga menjadi kewajiban bersama untuk sama-sama kita mendorong AIKOM ke arah tersebut, apalagi Pendidikan ini adalah salah satu Pelayanan Dasar yang paling vital yang harus disediakan oleh Pemerintah. 

Terkait sandaran hukum penempatan Pemkot pada gedung tersebut seperti apa yang di sampaikan oleh Sekretaris Kota beberapa hari kemarin di Media yaitu UU No 11 Tahun 1999 tentang Pembentukan Daerah Tk II Kotamadya Ternate, perlu kami stresing kembali bahwa dalam Pasal 14 UU 11 Tahun 1999 ayat 1 di katakan : Untuk kelancaran penyelenggaraan Pemerintahan di Kotamadya  Daerah Tingkat II Ternate, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Gubernur Kepala Daerah Tingkat l Maluku dan Bupati Kepala Daerah Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat II Maluku Utara sesuai dengan wewenang dan tugasnya masing-masing, menginventarisasi dan mengatur penyerahan kepada pemerintah kotamadya daerah tingkat II Ternate , Kemudian pada ayat 2 dikatakan : Pelaksanaan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), selambat-lambatnya harus diselesaikan dalam waktu satu tahun terhitung sejak diresmikannya kotamadya Daerah Tingkat II Ternate. Mencermati maksud ayat 1 dan 2 tersebut, maka pelaksanaan Penyerahan itu harus sesui dengan aturan. Bukan berarti secara serta merta dengan berlakunya UU 11 Tahun 1999 berarti seluruh aset Kabupaten Maluku Utara yang berada di Wilayah Administrasi Kota Ternate di kuasai oleh Pemerintah Kota Ternate. Harus ada pelaksanaan penyerahaan dulu dari Pemkab Maluku Utara ke Pemkot Ternate. Selama itu belum ada bukti penyerahan maka aset-aset yang ada tetap menjadi hak milik Pemerintah Kabupaten Maluku Utara.  Karena status kepemilikan barang ini mirip dengan pengeloaan PNS, tidak semua PNS yang berdomisili di Kota Ternate adalah Pegawai Kota Ternate. Untuk itu di sarankan kepada Pemkot untuk melakukan upaya hukum dalam rangka mendapatkan aset-aset Kabupaten Maluku Utara yang belum diserahkan yang berada di wilayah adaministrasi Kota Ternate, karena itu perintah Undang-Undang. Mudah-mudahan persoalan ini menjadi Pembelajaran bagi pemerintah daerah agar bisa duduk bersama kembali dalam menyelesaikan aset-aset  yang menjadi polemik saat ini. Jangan sampai melahirkan korban-korban baru yang dirasakan AIKOM Ternate.
Berdasarkan UU No 1 Tahun 2003 pada pasal 23 di katakan Dengan diberlakukannya Undang-undang ini nama Kabupaten Maluku Utara diubah menjadi Kabupaten Halmahera Barat. Sehingga secara hukum segala aset Kabupaten Maluku Utara dengan demikian menjadi aset Kabupaten Halmahera Barat. Dengan asusmsi ini sangat wajar jika AIKOM Ternate melakukan proses ganti rugi ke Pemerintah Halmahera Barat. Dan apa yang dilakukan oleh AIKOM Ternate ke Pemkab Halbar dalam rangka mendapatkan Gedung Ex P & K sudah sesuai dengan prosedur penyerahan aset, karena itu di atur dalam PP No 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah dan Permendagri No 17 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaaan Barang Milik Daerah serta Keprres 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Kalau bercermin pada PP No 06 Tahun 2006 dan Permendagri No 17 Tahun 2007, seharusnya Gedung tersebut walaupun di miliki oleh Pemerintah Kota Ternate nantinya tetap wajib di Hibahkan ke AIKOM Ternate karena ini untuk kepentingan Pendidikan.

PERENCANAA PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR MALUKU UTARA

Dengan konsep tujuan untuk lebih mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat, beberapa daerah di wilayah Negara Kesatuan Repulik Indonesia, di mekarkan. Arti dimekarkan ini adalah status wilayah administratif ditingkatkan atau jumlah tingkat wilayah administratif tertentu ditambah, dalam artian satu provinsi di bagi menjadi lebih dari satu provinsi, demikian selanjutnya dalam satu provinsi kabupaten/kota dibagi kembali menjadi lebih banyak jumlahnya. Pemekaran memiliki arti positif untuk percepatan daerah tertinggal. Kemandirian visi, misi, serta tujuan dari suatu kota atau kabupaten hasil pemekaran yang berdasar pada alasan positif kekhasan karakter sosial-politik daerah tersebut, akan lebih memicu secara mandiri perkembangan melalui pembangunan yang lebih membumi. Dalam arti proses perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, kemudian hasil dan operasionalnya lebih mengakar dan lebih mendekati kebutuhannya, karena muncul dari dalam secara otonomi. Hal ini akan selalu menjadi harapan keberhasilan implementasi yang tepat dan optimal dari otonomi daerah secara berkelanjutan, di semua sektor, termasuk sektor transportasi.

Keterbelakangan suatu daerah, menurut pengamatan di lapangan, sangat terkait pada keterbelakangan sektor transportasinya. Suatu daerah yang jaringan infrastruktur dan jaringan pelayanan transportasinya masih sangat terbatas, pertumbuhan ekonominya akan sangat terbatas
Pemerintah Provinsi Maluku Utara membutuhkan sedikitnya Rp 8 triliun untuk membangun infrastruktur di sembilan kabupaten/kota di provinsi ini. Kepala Bappeda Malut Amran Mustari mengatakan dari Rp. 8 triliun tersebut,
  • Sekitar Rp 4 triliun di antaranya untuk pembangunan infrastruktur jalan.
  • Sekitar Rp l triliun lainnya untuk pembangunan infrastruktur jembatan,
  • Sisanya untuk pembangunan seperti bandara, pelabuhan, gedung sekolah, rumah sakit, dan berbagai fasilitas publik lainnya,"
Berdasarkan catatan Bisnis, pemerintah menganggarkan belanja infrastruktur dalam RAPBN 2011 sebesar Rpl00,39 triliun. Anggarantersebut naik 36,5% dibandingkan dengan alokasi anggaran dalam APBN 2010 sebesar Rp63,64 triliun. Anggarannya bersumber dari APBN dan dialokasikan pada beberapa kementerian terutama di Kementerian Pekerjaan Umum.

Sementara hasil Pertemuan Bagian Perencanaan Daerah Sekawasan Indonesia Timur yang berlangsung di Makassar pada Bulan April 2010 kemarin menghasilkan bebrapa kesimpulan dan rekomendasi yang dapat kami diskusikan pada hari ini juga.

Kesimpulan dan Rekomendasi Forum
1.       Mendukung rancangan RPJMN 2010-2014 yang berbasis kepulauan melalui pendekatan dan keterkaitan sektor dan wilayah.
2.      Keberpihakan Pemerintah Nasional terhadap pembangunan KTI yang terukur dan terarah dalam RPJMN 2010-2014 dan didukung oleh formulasi penganggaran yang mempertimbangkan kondisi geografis, demografi dan sosiologis KTI.
3.        Kerja sama antar wilayah dipandang perlu agar pembangunan di daerah dapat dilakukan secara utuh dan terpadu melalui pembangunan infrastruktur darat yang menghubungkan Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan; kerja sama antar wilayah berdasarkan komoditas unggulan; peningkatan layanan transportasi laut dan udara antarwilayah; serta peningkatan kerjasama pengembangan wisata budaya di Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
4.        Penyelesaian Rencana Tata Ruang Wilayah masing-masing provinsi melalui koordinasi yang intens untuk menjadikannya sebagi satu kesatuan rencana tata ruang wilayah KTI dalam memberi arahan kepada perencanaan pembangunan, sehingga senantiasa penting ditegakkan dan dievaluasi.
5.        Secara sendiri dan atau bersama-sama BAPPEDA provinsi di KTI memikirkan terobosan pembangunan untuk memperbesar kontribusinya pada skala pembangunan nasional.
6.        Masing-masing BAPPEDA provinsi akan memberi perhatian sepenuhnya agar terdapat efektivitas proses perencanaan kabupaten/kota di wilayahnya.
7.        Menetapkan langkah dan mekanisme koordinasi percepatan KTI antara lain melalui:
  • Mengoptimalkan Forum Kepala Bappeda KTI terutama sharing smart practices
  • Membuat Task Force sebagai simpul koordinasi kebijakan pemerintahan di KTI
8.        Pertemuan Forum Kepala BAPPEDA Se-KTI IV direncanakan untuk dilaksanakan di Provinsi Papua, yang waktu pelaksanaannya akan ditetapkan kemudian.

Untuk itu diperlukan kesepahaman Prioritas Pembangunan dan Entry Point Percepatan, serta penguatan daya saing KTI melalui komoditas unggulan:
·      Sulawesi (pertanian, perkebunan, perdagangan, pariwisata)
·      Maluku dan Maluku Utara (Pariwisata, Perikanan)
·      Nusa Tenggara (perikanan, peternakan, pariwisata)
·      Papua (Perkebunan, perikanan, pariwisata, pertambangan dan energi)

Maluku Utara saat ini disamping memiliki Potensi SDA yang melimpah juga memiliki kendala geografis, infrastruktur dan SDM yang cukup memprihatinkan, maka model alternatif pembangunan Maluku Utara harus disusun dengan dengan memilih satu atau beberapa sektor unggulan saja.  Dan sektor-sektor ini sebaiknya yang memiliki keterkaitan ekonomi dengan sektor lain dan wilayah lain.
1.        Di dalam RTRWN beberapa jenis industri yang diusulkan untuk dikembangkan antara lain adalah industri elektronik dan industri migas dan olahannya. Pengembangan industri di Batam dan sekitarnya diarahkan untuk kegiatan ekspor, sedangkan industri di Natuna difokuskan kepada industri berat. Jika dilihat keterkaitannya dengan sektor lain dan daerah lain, maka jenis-jenis industri tersebut memiliki keterkaitan yang relatif tidak banyak.
2.        Berkaitan dengan hal tersebut di atas maka perlu dikembangkan sektor-sektor pendukung. Sektor-sektor ini merupakan sektor yang memberikan input bagi perkembangan industri-industri tersebut. Sektor-sektor tersebut antara lain sektor pertanian (terutama perikanan, perkebunan, dan pertanian pangan), pariwisata, dan industri ringan.
3.        Salah satu subsektor yang dapat menjadi andalan daerah adalah perikanan. Subsektor ini disamping membutuhkan banyak tenaga kerja juga untuk memanfaatkan potensi perikanan laut yang cukup besar.
4.        Dalam penerapan model pembangunan di atas perlu memperhatikan beberapa hal antara lain:
a.      Keterkaitan antar Sektor dan Daerah
Pemilihan sektor yang akan menjadi engine of growth perekonomian daerah harus didasarkan pada keterkaitan antar sektor dan daerah. Dengan kata lain, sektor yang dipilih sebaiknya memiliki keterkaitan yang kuat baik dengan industri hilir maupun hulu serta dengan daerah penunjang (hinterland).
 b.      Infrastruktur
Keterkaitan antar sektor dan daerah dapat terjadi apabila didukung dengan sarana dan prasarana yang baik terutama sarana dan prasarana di bidang perhubungan dan telekomunikasi mengingat kawasan ini merupakan kepulauan.

Rencana Jaringan Jalan Trans Maluku Utara
Nomor Ruas
Nama Ruas
Gugus Pulau
Status
Panjang (Km)

Kabupaten Halmahera Utara



039.1
Daruba – Daeo
4
N
25,59
039.2
Daeo – Berebere
4
N
68,00
.034
Podiwang – Tobelo
3
N
47,86
.035
Tobelo – Galela
3
N
27,02
.036
Kao – Podiwang
3
N
32,90
.037
Galela - Lapangan Terbang
3
N
10,87
038.2
Basso – Kao
3
N
71,49

Kabupaten Halmahera Barat



038.1
Sidangoli (Dermaga Ferry) - Basso
2, 5
N
23,23
043.1
Simpang Dodinga-Akelamo (KM60)
2, 5
N
63,01
054.1
Basso - Simpang Dodinga
2, 5
N
2,67
033.1
Jailolo – Goal
2
P
21,19
054.1
Simpang Dodinga-Dodinga (Dermaga Ferry)
2
P
3,30
030.1
Simpang Dodinga- Bobaneigo
2, 5
P
3,32
033.2
Simpang Dodinga-Jailolo
2
P
32,40

Kota Tidore Kepulauan



.029
Payahe – Weda
1
N
24,5
043.2
Akelamo (KM60) – Payahe
1
N
52,47
.021
Keliling Pulau Tidore
1
P
29,19

Kabupaten Halmahera Timur



059.1
Subaim – Buli
5
P
60,00
059.2
Buli – Gotowase
5
P
45,00
030.1
Bobaneigo - Ekor
5
P
41,81
030.2
Ekor - Subaim
5
P
52,47

Kabupaten Halmahera Tengah



058.1
Weda - Sagae
5
P
50,00
058.2
Sagae - Gotowase
5
P
60,00

Kabupaten Halmahera Selatan



.028
Labuha - Babang
6
P
18,32

Saketa - Mautiting
6
K
21,00

Mautiting - Mafa
6
K
43,00

Mafa - Weda
5, 6
K
50,00 

Kota Ternate



.032
Keliling Pulau Ternate
1
N
8,60

Kabupaten Kepulauan Sula



.026
Sanana - Manaf
7
P
31,86
.027
Sanana - Pohea
7
P
12,05

Rencana Alur Pelayaran Nasional
dari Provinsi Maluku Utara menuju Provinsi-provinsi Tujuan
Provinsi Tujuan
Lokasi Pelabuhan
Maluku
Namlea, Ambon, Saumlaki
Sulut
Bitung, Manado, Satal
Irjabar
Sorong, Kabare (Raja Ampat), Saonek (Raja Ampat), Fak-fak, Manokwari, Waisai (Raja Ampat)
Sulteng
Banggai, Toli-toli
Sultra
Bau-bau
Sulsel
Makasar
Papua
Biak, Jayapura
Jatim
Surabaya
Kaltim
Balikpapan, Samarinda, Tarakan
Kalsel
Banjarmasin

Rencana pengembangan jalur penerbangan di Provinsi Maluku Utara meliputi:
(a)    Rencana Pengembangan Jalur Nasional Antar Provinsi, yaitu: Ternate – Jakarta; Ternate – Manado; Ternate – Ambon; Ternate – Makassar; Ternate -  Sorong; Ternate – Fak - Fak; Ternate – Manokwari; Ternate – Luwuk dan Sanana – Ambon.
(b)    Rencana Pengembangan Jalur Reguler Antar Kabupaten, yaitu: Ternate – Sanana dan Ternate – Buli.